Senin, 25 Oktober 2010

They’re Mindboggling, They’re Absurd, and…They’re Asians !

Buat para pecinta film, khususnya film-film yang bikin otak kita bekerja lebih keras, mungkin udah bosen dengan film-film Hollywood dan pola-polanya yang klise. ‘Multiple Personality Disorder’ adalah senjata yang sudah usang dan terlalu banyak dipakai. Tapi, beruntunglah bahwa perfilman tidak hanya Hollywood saja, kita bisa mencari film mindboggling yang fresh di kawasan Asia. Bersiaplah semuanya, inilah “Oldboy” dari Korea dan “20th Century Boys” dari Jepang.

Mungkin bagi beberapa orang, nama Chan Wook-Park sudah tidak terdengar asing lagi. Dia telah banyak menelurkan karya-karya seperti Simpathy for Lady Vengeance, Thirst, dan Joint Security Area. Karyanya yang satu ini, “Oldboy”, adalah salah satu filmnya yang sukses menyabet berbagai penghargaan termasuk Grand Prix di ajang festival film Cannes tahun 2004.

“Oldboy” bercerita tentang kehidupan Daesu Oh yang mendadak hancur setelah ia diculik dan diisolasi dari dunia luar selama 15 tahun. Setelah menghadapi pengisolasian yang nyaris membuatnya gila, tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas ia dilepaskan kembali. Semua kejadian tersebut meninggalkan pertanyaan besar “Siapa yang menjadi dalang di balik semua ini ?”, tapi apakah itu adalah pertanyaan yang tepat ?

Film ini banyak mendulang pujian kritikus dan menarik perhatian berbagai pihak. Rottentomatoes memberikan rating 80% atau “Certified Fresh” sedangkan voters di IMDb memberikan total 8.3/10 untuk film ini. Saat penjurian di Cannes pun, Quentin Tarantino sangat mendukung film ini memenangkan piala Palme d’Or. Bagi saya pribadi, kemampuannya dalam meramu emosi dan mencampuradukkannya dengan cerita yang mindboggling sangat hebat, sehingga penghargaan-penghargaan yang datang untuk film ini adalah suatu hal yang “biasa”.

“Oldboy” akan menyuguhkan kepada kita petualangan mencari kebenaran dan pembalasan dendam yang berdarah-darah selama 120 menit kedepan. Pengambilan gambar yang dibuat sedikit gelap dan scoring yang unik membuat rasa tersendiri untuk film ini. Selain ceritanya yang sangat mengeksploitasi kedendaman seseorang, faktor yang lainnya yang menyebabkan rating R menempel di film ini adalah kekerasannya dan adegan seks yang telah menjadi trademarknya di setiap film-filmnya.

Dan bersiap-siaplah kawan, Oldboy akan dibuatkan remake versi Hollywoodnya dan diperkirakan akan tayang tahun 2012. Soal ini, saya nggak bisa berbicara banyak, kita tinggal menunggu dan berharaplah tidak banyak mengecewakan.

Lain di Korea, lain pula di Jepang. Jepang memang identik dengan film-film Tokusatsu maupun manga yang terkadang memiliki ide cerita yang unik (hei…tahukah kalian kalau ide cerita “Oldboy” pun diambil dari manga Jepang sukses berjudul sama karya Nobuaki Minegishi dan Garon Tsuchiya ?). “20th Century Boys” juga merupakan sebuah film yang diadaptasi dari manga Jepang sukses berjudul sama karya Naoki Urasawa.

Film ini bercerita tentang sekte sesat yang memakan banyak korban karena aksi-aksinya. Belakangan diketahui bahwa sekte ini terinspirasi dari kegiatan masa kecil mereka ketika membuat sebuah perkumpulan rahasia. Hanya anggota-anggota perkumpulan rahasia inilah yang mampu memprediksi rencana buruk yang akan dilakukan, karena rencana kegiatan sekte itu sebenarnya adalah buku berisi  imajinasi masa kecil mereka tentang kehancuran manusia di tahun 2000.

“20th Century Boys” memang bukan sebuah film yang banyak ditanggapi kritikus. Entah karena film ini sangat terasa sekali hawa kekanak-kanakannya, atau karena alasan lain, saya juga tidak tahu. Tapi voters di IMDb memberikan nilai 6.7/10. Tidak terlalu buruk, kan ?

Film arahan Yukihiko Tsutsumi ini mengajak kita berpikir keras selama 142 menit kedepan. Nama Yukihiko Tsutsumi memang tidak telalu banyak terdengar di dunia internasional, tapi karya-karyanya sudah mencapai 39 judul, termasuk film adaptasi manga “Beck : Mongolian Chop Squad”, “Kindaichi Case Files” dan “2LDK”.

Rasa penasaran dan kemenarikan ceritanya menjadi driving force yang kuat untuk mengunci kita melahap film ini sampai habis (walaupun ternyata ceritanya tidak tuntas dan harus dipecah menjadi 3 film). Tema yang diangkat bukanlah tema yang ringan dan simpel, karena berhubungan dengan kepercayaan, strategi politik organisasi, dan lainnya. Secara cerita, “20th Century Boys” memang tergolong sukses. Terbukti dengan diraihnya penghargaan manga Kodansha Manga Award, Excellence Prize dari Japan Media Art Festival, dan Shogakukan Manga Award. Chapter 3 nya, yang dirilis hanya berselang satu tahun dari chapter pertamanya, berhasil menduduki peringkat pertama untuk Japan Box Office.

Namun, mungkin dikarenakan tidak semua penikmat film berminat menonton film adaptasi manga, apalagi memiliki tema inti yang berat dan cukup kompleks, menjadikan film ini hanya bisa dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Padahal, tidak ada salahnya mencoba memeras otak dengan film berhawa sci-fi ala Jepang ini.

Terbukti perfilman Asia memang bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Dua film adaptasi manga dari dua negara yang mampu membuat otak kita terhibur. They’re very mindboggling and absurd in their own way. Dan jangan lupa…they’re Asians ! Majulah perfilman Asia !

Dimas Dwi Adiguna

20th Century Boys (2008)

Suka film Tokusatsu ? Itu loh, film khas Jepang yang mengedepankan tokoh berkostum dan ceritanya pasti selalu berkisar satu hal : Menyelamatkan dunia. Nggak, saya nggak benci film-film sejenis itu kok. Apakah film yang saya tonton ini, “20th Century Boys” (2008) yang disutradarai Yukihiko Tsutsumi, berkisar seputar superhero seperti itu juga ?

Nggak sih. Tapi kita masih bisa merasakan hawa itu juga disini, walaupun dengan tema yang sedikit unik.


“20th Century Boys” adalah film adaptasi dari manga Jepang sukses berjudul sama yang diciptakan oleh Naoki Urasawa. Dikisahkan Kenji yang menghabiskan masa kecilnya dengan membuat sebuah perkumpulan rahasia bersama 8 orang temannya. Mereka bersama-sama melakukan hal yang aneh, merancang logo perkumpulan rahasia mereka sendiri, bahkan menuliskan khayalan mereka tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang dan menamainya ‘The Book of Prophecies’. 31 tahun kemudian, saat semuanya melupakan hal tersebut dan berjalan masing-masing dengan hidupnya, muncul isu mengenai sebuah sekte rahasia yang menggunakan logo perkumpulan rahasia saat mereka kecil. Kacaunya lagi, sekte tersebut akan mewujudkan seluruh halaman ‘The Book of Prophecies’ menjadi kenyataan, yang berarti kelangsungan hidup manusia menjadi terancam ! Siapakah pemimpin sekte tersebut, dan bagaimana menghentikannya ?

Untuk sebuah film manga, apalagi manga-nya, cerita yang dihadirkan memang cukup absurd. Lupakan bayangan bahwa kita akan menghadapi monster raksasa yang siap meluluhlantakkan Tokyo dengan semburan apinya. Apalagi kalo kita liat poster filmnya, siapa yang nggak bakal mengasosiasikan film ini dengan adegan ‘raksasa-yang-berantem-di-kota’. Makanya, saya cukup excited sama film ini karena temanya yang cukup berani dan kompleks (dan tentu saja, selain dorongan teman-teman saya untuk menonton film ini…wahaha).

Seakan nggak mau kalah dengan film-film lain, film ini berusaha membuktikan kalau film manga juga mampu memanjakan mata kita secara professional. Contohnya adalah soal CGI (Computer Generated Imagery). Saya kagum sama efek ledakan dan kehancuran yang bakal sering kita lihat di film ini. Mungkin ada beberapa adegan yang animasinya masih kasar, tapi secara utuh, film ini sudah sangat memuaskan. Sudut-sudut pengambilan gambarnya pun patut diacungi jempol. Suasana creepy dan menegangkan yang terkadang perlu dimunculkan dalam suatu scene berhasil diangkat dengan bantuan sinematografinya ini.

Kalo ditanya soal aktingnya, saya nggak terlalu bisa menilai akting sebenernya, tapi coba bayangkan para pemain film-film superhero Jepang yang tayang setiap hari minggu. Yap…saya nggak tau itu bagus atau nggak, tapi saya kurang bisa merasakan emosi di film ini, malah terasa dipaksakan dan terkesan konyol . Apalagi saat adegan ketika mereka masih anak-anak, yang akhirnya membuat saya bersyukur masih ada akting yang lebih aneh dari artis-artis Indonesia.

Hal lainnya, film ini masih tidak jelas dalam membidik target penonton film mereka. Karena secara tema dan kompleksitas cerita, film ini jelas untuk konsumsi dewasa atau minimal yang sudah mampu berpikir dengan matang. Tapi dari segi humor maupun konfliknya, terasa dangkal sekali, sehingga malah kurang ‘nendang’ dan menyebalkan. Donkey dan ‘snot-towel’ misalnya, terasa sangat menyebalkan dan menjijikkan, dan berhasil mengganggu kenikmatan saya menonton film ini. Kalau humor-humornya bisa dibuat lebih dewasa dan matang, mungkin film ini bakal lebih enjoyable buat saya pribadi.

Film dengan janji yang hebat, namun terasa nanggung dan dipaksakan. Kapan lagi kita bisa diajak mencerna cerita yang kompleks oleh sebuah film manga ? Sayangnya, akting yang kurang memukau dan humor serta konflik yang terlalu dangkal membuat film ini seakan seorang superhero yang sudah berganti kostum dengan heboh dan membesar menjadi raksasa, hanya untuk melawan seekor kucing ?

Dimas Dwi Adiguna

Sabtu, 23 Oktober 2010

Eat Pray Love (2010)



Kemaren malem, kru dan calon kru LFM ITB (Liga Film Mahasiswa) sepakat buat menonton bareng filmnya Julia Roberts yang baru rilis minggu-minggu ini berjudul “Eat Pray Love” (2010). Rencana awalnya sih kita berangkat sekitar jam 7 malem, tapi jadwal dimundurkan jadi jam 8.45 dan dengan sukses menggugurkan jumlah peserta menjadi sekitar belasan orang saja. Tapi who cares dengan jumlah peserta ? Kapan lagi akhirnya saya rela tertarik dengan film drama-cinta ?

Dan siapa bilang film ini sama sekali gak pantes buat ditonton ?

Sebenernya yang bikin saya sedikit kurang excited sama film ini adalah ekspektasi saya sama film ini dulu. You know, film romantic-comedy yang ceritanya tentang seorang wanita yang pengen menyembuhkan dirinya dari permasalahan cinta. Zzz. Saya bukan tipe orang yang mau dibuai dengan cerita yang manis (hei...realita jauh lebih pahit daripada cerita film, kawan !). Tapi konsep penyembuhan diri dengan 3 bidang, yaitu makan, berdoa (sebetulnya bermeditasi lebih tepatnya, tapi ya sudahlah…), dan menjalin cinta, adalah ide yang unik. Ketiga hal ini pun rela ia kejar di 3 negara di dunia, makan di Itali, bermeditasi di India, dan menjalin cinta di Bali. Sounds cool, isn’t it?

Secara visual, film arahan sutradara Ryan Murphy ini emang keren banget. Sejenis film documenter tentang travelling guide, budaya, dan alam. Setiap scenenya telah diatur dan ditilik dengan cermat. Setiap kejadian kecil dan kebudayaan masyarakat sekitar bisa direkam dengan menarik .Siapa yang bisa melupakan bagaimana orang Itali mengatakan ‘screw you’ dengan gesture tangan ? Wahaha.

Kalo dilihat dari cerita, entah kenapa saya merasa kurang sreg. Bahkan, denger-denger sih adaptasi yang dilakukan film ini terhadap novelnya terlalu dangkal. Tapi bukan itu yang bikin saya kurang “kena” sama ceritanya (karena saya juga belom pernah baca bukunya), tapi konsepnya mengenai tuhan dan kebahagiaan agak terlalu radikal buat saya pribadi. Juga soal tempo ceritanya yang terlalu lambat dan bertele-tele, nyaris membuat grafik emosi saya anjlok di tengah cerita, dan bikin inti ceritanya jadi sedikit kabur.

Terlepas dari semua hal barusan, film ini bakal membanjiri kita tentang pengetahuan kebudayaan negara-negara disana. Bagaimana orang Italia sangat mahir menikmati hidup dan mahir ‘tidak melakukan apa-apa’. Kehidupan India yang sangat mengutamakan kedamaian hati dan mencintai dengan tulus. Dan kepercayaan masyarakat Bali tentang keseimbangan dalam hidup. Quotes menarik pun banyak tersebar di seluruh film yang berdurasi 133 menit ini. Jadi, menurut saya sih, ceritanya masih boleh lah…

Visually stunning yet flat on story. Film ini seperti sepiring spaghetti Itali yang mewah dan kaya akan topping, namun sedikit hambar dan terlalu mengenyangkan. Kita harusnya udah bisa merasakan kelezatannya walaupun hanya beberapa suap saja, dan tentu saja, “butuh bumbu lagi, Ryan Murphy !”. Wahaha.

Dimas Dwi Adiguna.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Dancer in the Dark (2000)


“In a musical, nothing dreadful ever happens.”


Yap…dalam sebuah film musikal, terkadang selalu kebahagiaan yang dimunculkan. Rasa riang dan senang yang ditunjukkan lewat nyanyian berirama gembira. Tapi film ini, Dancer in the Dark (2000) karya Lars von Trier, mampu menyajikan sebuah drama musikal yang gelap, polos, dan sederhana, yang justru karena kesederhanaannya itulah  membuat film ini makin kuat.


Selma Jezkova (Bjork) berusaha menabung untuk membiayai operasi mata anaknya, Gene Jezkova (Vladica Kostic), yang mengidap kelainan mata yang sama dengan Selma, dan mengancam kemampuannya untuk melihat. Menghadapi kenyataan yang berat seperti itu, Selma selalu berkhayal bahwa dirinya berada dalam hidup yang penuh dengan tarian dan musik, untuk membuatnya tenang dan bahagia. Sayangnya, dia harus menyadari terkadang hidup di dunia nyata tidak selalu berlangsung mulus dan bahagia seperti di drama.

Shock. Itulah yang saya rasakan ketika selesai menonton film ini. Puluhan emosi dan pikiran selanjutnya semakin bersesakan di dalam otak buat menyadarkan diri saya, ternyata ada loh film seperti ini. Film ini benar-benar beda dengan drama musikal lainnya. Mungkin drama musikal gelap lebih tepat. Bukan kebahagiaan dan rasa gembira yang film ini coba untuk merekamnya, tapi sisi gelap manusia, kenaifan, dan keegoisannyalah yang menjadi objek utama. Karena tema utama yang tidak biasa, film ini memorable banget buat saya.

You don’t need eyes to see. Kebenaran memang bukan konsumsinya panca indera, kan? Sepertinya hal itulah yang ingin film ini bagikan kepada penontonnya. Kita nggak bakal mendengar background music apapun, selain ketika bagian menyanyinya, selama 2 jam 14 menit kedepan. Rasakan emosinya lewat ekspresi dan kalimatnya, kawan !

Kepolosan yang ditawarkan film ini juga menjadi hal yang menarik. Kamera yang merekam dengan pergerakan yang cukup kasar dan tidak ‘mengeksploitasi’ sudut pandang dan keindahan alam sekitar membuat kita fokus dengan ceritanya. Nggak ada special effect berlebihan. Nggak ada pemandangan alam sekitar yang indah. Nggak ada efek suara yang ‘mengatrol’ emosi.Tapi tanpa semua itu ternyata film ini bisa tampil dengan memukau. Bravo banget !

Bukan film yang bisa diterima semua orang, sepertinya. Temanya yang tidak biasa untuk sebuah drama musikal dan temponya yang lambat bukanlah selera semua orang. Tapi cobalah menikmati film ini dan rasakan hal yang berbeda dalam sebuah drama.

“They say it’s the last song
They don’t know us, you see
It’s only the last song
If we let it be.”

Dimas Dwi Adiguna

Kamis, 14 Oktober 2010

Stranger Than FIction (2006)

Pernah nggak kalian membayangkan bagaimana hidup kita akan berjalan jika kita bisa mengintip seluruh perjalanan hidup kita kedepannya ? Semuanya yang akan terjadi dalam hidup kita sudah diketik rapi dan ter-spoiler di hadapan kita. Saya nggak yakin hidup kita bakal bisa dinikmati karena element of surprise nya sendiri udah nggak ada. Tapi bagaimana kalau hidup kita saat ini sedang ditentukan oleh ketikan novelis di suatu tempat secara live? Apalagi sang novelis dan tokohnya tidak saling mengetahuinya ?



Harold Crick (Will Ferrell) adalah seorang auditor pajak yang menjalani hidupnya dengan kaku dan membosankan. Semuanya berjalan normal sampai suatu ketika dia mendengar suara narrator yang menarasikan hidupnya seperti sebuah dongeng. Di tempat yang lain, seorang novelis terkenal, Karen Eiffel (Emma Thompson), sedang dalam tahap menyelesaikan novelnya, yang tanpa ia sadari telah mengontrol jalan hidup Harold. Sementara Harold sedang mencoba membuat hidupnya lebih ceria dan akhirnya jatuh cinta kepada Ana Pascal (Maggie Gyllenhaal), seorang pemilik toko kue yang menunggak pajak, Karen sedang berpikir keras mengenai ending dari novelnya. Dia bisa membuat novelnya sebagai novel komedi-cinta dengan ending yang gembira, tapi bagaimana bila dia membuat novelnya sebagai novel tragis ?

Ide ceritanya yang kreatif, ‘out-of-the-box’, dan liar ini benar-benar bisa membuat saya terkunci mengikuti film ini selama 113 menit. Secara genre, film ini sebenarnya masuk ke drama-komedi-romantis. Bukan genre yang saya banget, tapi ya ampun, siapa sih yang bisa tahan nggak penasaran dengan film ini ?

Salah satu hal yang menarik di film ini adalah banyaknya bintang-bintang terkenal yang diusung sebagai castnya. Sebut saja Will Ferrell, Dustin Hoffman, Queen Latifah, dan masih banyak lagi. Tapi hal yang paling menarik perhatian saya adalah akting Will Ferrell yang sangat natural dan berjiwa, seakan-akan saya bisa merasakan kegelisahannya dan kebingungannya. Sayangnya, menurut saya kehadiran Queen Latifah hanya sekedar pajangan di film ini. Kalau misalkan saya jadi sutradara dan mengganti namanya dengan yang lain, sepertinya keanggunan cerita ini nggak bakal banyak berubah.

Selain hal-hal yang saya sebutkan barusan diatas, cerita dan suasana yang diangkat di film ini berhasil bikin saya menikmati kejadian demi kejadian di film ini. Ceritanya nggak terlalu cheesy. Seperti obat yang dilapisi sirup manis, saat dinikmati akan terasa sedikit pahit, yang justru semakin menguatkan rasa manisnya. Konflik-konflik yang disajikan terasa seimbang dan tidak menjadikan film ini sebagai film komedi-gelap belaka, tapi justru menjadikan film ini sebagai film drama yang unik.

‘Bitter-sweet’, mungkin itu kata yang tepat buat mendeskripsikan film ini secara singkat. Kisah drama romantis yang sedikit gelap. Buat saya, film ini berkesan banget, karena selain ide ceritanya yang menggelitik saraf penasaran, pesan yang ditawarkannya sangat ‘ngena’ di hati saya. Dalam hidup pasti akan selalu timbul konflik, nggak jarang keputusan yang harus diambil adalah hal yang paling berat dilakukan. Tapi menjadikan prosesnya sebagai hal yang manis, mungkin mengurangi rasa pahitnya. Hey, don’t you think our life is stranger than fiction too ?

“Truth is stranger than fiction, but this is because fiction is obliged to stick to probability; truth is not.” –Mark Twain


Dimas Dwi Adiguna

Selasa, 12 Oktober 2010

Little Miss Sunshine (2006)

Akhir-akhir ini entah kenapa saya kayak kejebak dalam dunia yang minim warna. Monoton dan membosankan. Rutinitas adalah kambing hitam saya yang pertama. Selanjutnya, jadwal tidur yang kacau, adalah kambing hitam yang kedua. Mungkinkah saya buta warna ? Absolutely no ! Atau mungkin saya buta optimisme ? Hmm…maybe that’s the answer. Kalau saya pikirin sekali lagi, yang salah adalah optimisme di hati saya yang hilang, menyebabkan bocornya semangat sehingga berceceran kemana-mana. Saya butuh optimisme itu kembali, dan saya mendapatkannya kembali setelah menonton Little Miss Sunshine (2006).



Keluarga Hoover adalah keluarga yang ‘unik’. Richard Hoover (Greg Kinnear), sang ayah, adalah motivator yang sedang berusaha menerbitkan gagasannya melalui buku. Sheryl Hoover (Toni Collette) adalah seorang ibu yang emosional dan meledak-ledak. Dwayne (Paul Dano), anak pertama, seorang penggemar Nietzche yang terus berpuasa berbicara sebelum keinginannya untuk masuk Akademi Penerbangan terwujud. Edwin Hoover (Alan Arkin), sang kakek, adalah seorang playboy yang senang menyumpah serapah dan menghisap kokain. Frank (Steve Carell), penyuka sesame jenis yang baru saja dipulangkan dari rumah sakit akibat percobaan bunuh diri. Dan Olive Hoover (Abigail Breslin) adalah anak kecil yang polos dan cerdas.

Suatu ketika, Olive mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kontes kecantikan Little Miss Sunshine di Californiia. Mendengar kabar gembira tersebut, seluruh anggota keluarga ingin mengantarkan dia menuju tempat perlombaan. Berbagai kejadian unik dan tidak terduga harus mereka hadapi. Tapi seperti yang dikatakan Richard, “Ada dua tipe manusia, pemenang dan pecundang. Perbedaannya, pemenang tidak pernah menyerah.”, dan perjalanan mereka tanpa disadari banyak memberikan nilai hidup dan semangat, dalam kepolosan mereka.

Tadinya saya kira bakal kayak drama keluarga biasa. Ternyata ini drama dengan setting keluarga tapi dengan tema dan humor yang lebih dewasa. Jadi, walopun kedengarannya seperti drama keluarga, percayalah, ini bukan film anak-anak. Film ini mendapatkan rating R karena penggunaan kata kasar, narkoba, dan istilah-istilah dewasa. Tapi film ini jangan dianggap remeh. Selain karena film ini berhasil menyabet 2 piala Oscar, dialog-dialog yang dilontarkan dalam film ini sangat mendalam dan membuat kita merenung mensyukuri diri dalam kehidupan mereka yang abnormal, tentu saja dengan sentuhan humor satir.

Kita bakal menertawakan kepolosan keluarga ini dalam menghadapi setiap kejadian konyol di perjalanannya. Karakter-karakter yang saling bertentangan satu sama lain bakal menimbulkan jutaan kekonyolan akibat ulah mereka sendiri. Oke, mungkin kurang buat memancing tawa lebar, tapi tawa geli pun sudah cukup, karena keindahan film ini bukan cuma di humornya aja, tapi dari pengambilan gambar dan scoringnya juga.

Scene-scene yang ditampilkan sangat dramatis dan menyentuh. Dan seakan-akan film ini masih aja kurang sempurna, music yang mengiringi perjalanan mereka di film ini bakal menyempurnakan semuanya. Buat saya pribadi, hati saya serasa lapang dan luas selama menikmati film ini. Nggak tau kenapa. Pokoknya susah lah mendeskripsikannya disini, kalian harus merasakannya sendiri.

Little Miss Sunshine udah berhasil membuat saya tersenyum geli dan meresapi makna pemenang secara sekaligus. Film ini udah mencerahkan pandangan saya dalam menjalani rutinitas hidup, seakan-akan mereka memencet tombol ‘brightness’ berkali-kali sampai muncul warna-warna yang nggak saya sadari sebelumnya.

“Losers are people who are so afraid of not winning, they don't even try
- Grandpa

Dimas Dwi Adiguna

Minggu, 10 Oktober 2010

Oldboy (2003)

*Barusan saya abis dari Pasar Seni ITB 2010. So much fun in there, tapi terlalu penuh dan wahananya kesedikitan. Walhasil kurang puas menjelajah dan panas gila!*


 “Even though I'm no more than a monster - don't I have the right to live?

Ya, ya, setelah kemaren saya disiksa dengan filmnya Chan-wook Park berjudul Thirst (2009) (dan saya nggak cocok banget sama film ini), saya memutuskan untuk menikmati film dia yang lain aja, judulnya Old Boy (2003). Awalnya saya udah takut grafik emosi saya bakal rusak di tengah jalan kayak film Thirstnya itu. Tapi ternyata, film ini berhasil bikin emosi saya ikut bergejolak banget terutama di bagian klimaksnya. Sebelum saya bakal panjang lebar ngomonginnya, well, I must give you all the synopsis first…

 Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Dae-su Oh (Min-sik Choi) diculik dan ditahan di sebuah apartemen. Menjalani hidup dalam ruangan yang sempit selama 15 tahun membuat mentalnya terguncang dan hidupnya hancur. Sampai suatu ketika, dia dibebaskan dan meninggalkannya dengan sebuah pertanyaan besar, ‘untuk apa semua ini terjadi pada dirinya ?’.

Hal pertama yang bakal bener-bener saya perhatikan sebelum saya nonton adalah ide ceritanya. Dan buat saya pribadi, ide ceritanya keren abis ! Tau nggak sih gimana rasanya disekap dalam sebuah ruangan selama 15 tahun lebih tanpa diberitahu maksud penangkapannya itu, sedangkan anak-istrinya serta seluruh dunianya masih terus berjalan. Rasa balas dendam inilah yang sengaja Chan-wook Park eksploitasi di film ini.

Oke, mungkin kalian melihat hal-hal absurd di film ini, tapi momen-momen absurd itu cukup mendukung (sekali lagi saya tegaskan, CUKUP MENDUKUNG) mood film ini yang sangat menekan kewarasan. Kita bisa sama-sama merasakan tekanan batin, keputusasaan, dan perjuangan untuk mencari kebenaran di balik semua ini. Selama nonton film ini, saya merasa jiwa dan hati saya disilet pelan-pelan dan temponya meningkat sampai mencabik-cabiknya hingga hancur. Stressful banget. Jadi, buat saya, film ini berhasil kalo dinilai dari segi emosi.

Akting Min-sik Choi saat memerankan jadi Dae-su Oh yang kewarasannya semakin labil bener-bener jempolan. Kalian bisa melihat ekspresinya yang tertekan, sedih, tapi sinis secara sekaligus. Penjiwaannya sangat terasa, bukan hanya peran Dae-su Oh, tapi pemain-pemain lain pun bisa mengimbanginya dengan hebat. Belom lagi scoring nya yang bisa mengubah suasana menjadi sangat dramatis dan emosional. Cemerlang banget !

Satu hal lagi yang paling diingat dari film ini adalah scene bertarung dengan sudut pengambilan gambar side-scrolling (geser ke samping, kayak game berantem Nintendo gitu deh). Adegan yang terlihat seperti satu kali ambil gambar itu jadi keliatan sangat dark, kotor, dan penuh kedendaman.

Hah ? Kalian nanya apa kekurangan film ini menurut saya ? Kalo menurut saya sih satu, adegan seksnya terlalu vulgar. Oke, mungkin kalian berargumentasi kalo adegan itu mendukung cerita, tapi ya nggak segitunya juga sih. Lagipula bagi saya, itu udah berlebihan, yang malah semakin memperbanyak rentetan Parental Guide di IMDBnya. Kenapa nggak pake alternatif dengan hanya memfokuskan pada suaranya saja seperti yang dilakukan oleh Mouly Surya dalam filmnya yang berjudul Fiksi (2008) ? Itu opini saya kan…

Sampe ending, saya bener-bener mual secara psikologis. Bukan karena kekerasannya, tapi lebih karena ceritanya (tolong jangan samakan dengan Tersanjung series). Pas saya mematikan laptop, ekspresi saya cuman satu : ‘Ya-ampun!’. Kalo boleh saya kasih istilah, film ini adalah tipe film ‘jambak-rambut’. Beneran, karena bisa bikin kalian jambak-jambak rambut sendiri. So, overall film ini saya beri 9 dari 10 point karena keberhasilannya menyuguhkan penampilan yang memukau dan cerita yang sangat 'argh'...

Reviewan kali ini bakal saya tutup dengan salah satu kalimat yang masih terngiang-ngiang di telinga saya setelah nonton film itu. Kalimat yang bikin saya sadar kalo manusia pasti punya stress point, saat-saat yang mampu membuat semangatnya terpuruk, setangguh apapun dirinya.

"Be it a rock or a grain of sand, in water they sink as the same."




Dimengingatkan
Seks dan Susila                                            : 8 / 10
Kekerasan dan Sadisme                              : 6.5 / 10
Kata Kasar dan Penggunaan NAPZA         : 5 / 10

Dimerating                                                    : 9 / 10


Dimas Dwi Adiguna


Sabtu, 09 Oktober 2010

High School Musical 2

Disney memang sudah terkenal akan film-film remajanya, baik dengan label “Disney Channel Original Movie” atau melalui “Walt Disney Pictures”. Produktivitas mereka membuat film tidak perlu ditanya lagi, sebagai contoh sebut saja “Hannah Montana : The Movie”, “Jonas Brothers : The 3D Concert Experience”, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling banyak diingat penonton, khususnya di Indonesia, adalah film arahan Kenny Ortega, “High School Musical” (2006), yang mampu menarik sekitar 225 juta penonton di seluruh dunia. Hanya berselang 1 tahun dari filmnya yang pertama, sekuelnya yang diberi nama “High School Musical 2” diluncurkan ke publik, dan disini saya hanya akan mereview sekuelnya saja (jangan biarkan saya tersiksa untuk yang kedua kalinya dengan mereview film pertamanya).

Sekuelnya ini berkisar pada kegiatan para Wildcats dalam mengisi liburan musim panas mereka dengan bekerja sambilan di sebuah klub bernama Lava Springs. Bermacam-macam alasan yang mendorong mereka mencoba bekerja, seperti ingin menabung untuk membeli sebuah mobil, berbelanja di mall, dan meringankan beban biaya masuk universitas. Sayangnya, kecemburuan Sharpay (Ashley Tisdale) akan kedekatan Troy (Zac Efron) dan Gabriella (Vanessa Hudgens) membuat seluruh suasana di Lava Springs menjadi kacau balau, dan para Wildcats harus berusaha tetap solid, walaupun saat Troy terlihat menjauh dari mereka.

Jujur saja, ekspektasi saya cukup rendah terhadap film ini. Saya tidak terlalu mengharapkan cerita yang menarik, emosi yang mendalam, ataupun tampilan visual yang memukau. Entah kenapa genre film remaja selalu dipenuhi dengan hal-hal yang klise : si tampan pemain basket andalan bertemu si cantik, saling jatuh cinta, si cantik lainnya akan berusaha menyabotase jalinan cinta mereka, yang sudah bisa kita tebak pasti akan gagal dan berakhir happy ending. Aah…coba hidup kita sesimpel itu.

Anyway, film ini tidak memiliki kekuatan dari segi cerita. Kalau saya boleh memberi istilah, film ini super-duper-klise. Tidak ada hal special yang terjadi selama cerita selain penantian selama 135 menit untuk menonton kapankah Zac Efron dan Vanessa Hudgens akan saling berciuman di akhir cerita (ups…spoiler). Konflik yang terjadi sangat biasa dan antikonfliknya sangat mudah ditebak. Humor-humor yang ditawarkan dalam film ini pun tidak mampu memancing tawa, tapi malah cenderung menyebalkan dan norak. Secara keseluruhan, cerita yang ditawarkan film ini sangatlah hambar.

Akting yang dilakukan oleh para pemain disini terkesan sangat dipaksakan dan kaku. Saya juga tidak tahu, mungkin memang seperti itulah gaya humor Amerika, menggerakkan anggota tubuh saat berakting dengan berlebihan, hanya saja itu membuat mata saya menjadi “iritasi”. Pada momen yang seharusnya bisa dipoles menjadi lebih dramatis pun, malah mengalir dengan mengambang dan emosi yang dipancarkan kurang kuat.

Tapi harus saya akui, salah satu kelebihan film ini adalah koreografinya yang apik dan lagunya yang catchy. Rangkaian gerakan tarian di film ini dibawakan dengan energik dan mengalir dengan mulus. Dan memang sudah seharusnya seluruh kru berterima kasih pada tim musik film ini, karena atas jasa merekalah, film ini masih memiliki kemenarikannya tersendiri. Kombinasi antara tarian dan lagu di film ini berhasil mengangkat suasana ceria khas remaja yang meluap-luap.

Setelah 135 menit yang (terasa) panjang,beruntunglah saya tidak terlalu berharap banyak, sehingga tidak merasa dikecewakan. Yang menjadi perbedaan mencolok antara film ini dengan film-film remaja lainnya hanyalah nyanyian dan tarian energik yang muncul setiap 20 menit, dimanapun mereka berada. Film ini sebenarnya tidak terlalu buruk, jika kamu adalah tipe orang yang suka dengan film ringan dan sangat menyukai gaya tarian dan lagu mereka di High School Musical yang pertama. Tapi untuk kalian yang beranggapan bahwa film ini sangat dangkal, jangan cemas, saya ada di pihak kalian.

Dimas Dwi Adiguna