Sabtu, 16 Oktober 2010

Dancer in the Dark (2000)


“In a musical, nothing dreadful ever happens.”


Yap…dalam sebuah film musikal, terkadang selalu kebahagiaan yang dimunculkan. Rasa riang dan senang yang ditunjukkan lewat nyanyian berirama gembira. Tapi film ini, Dancer in the Dark (2000) karya Lars von Trier, mampu menyajikan sebuah drama musikal yang gelap, polos, dan sederhana, yang justru karena kesederhanaannya itulah  membuat film ini makin kuat.


Selma Jezkova (Bjork) berusaha menabung untuk membiayai operasi mata anaknya, Gene Jezkova (Vladica Kostic), yang mengidap kelainan mata yang sama dengan Selma, dan mengancam kemampuannya untuk melihat. Menghadapi kenyataan yang berat seperti itu, Selma selalu berkhayal bahwa dirinya berada dalam hidup yang penuh dengan tarian dan musik, untuk membuatnya tenang dan bahagia. Sayangnya, dia harus menyadari terkadang hidup di dunia nyata tidak selalu berlangsung mulus dan bahagia seperti di drama.

Shock. Itulah yang saya rasakan ketika selesai menonton film ini. Puluhan emosi dan pikiran selanjutnya semakin bersesakan di dalam otak buat menyadarkan diri saya, ternyata ada loh film seperti ini. Film ini benar-benar beda dengan drama musikal lainnya. Mungkin drama musikal gelap lebih tepat. Bukan kebahagiaan dan rasa gembira yang film ini coba untuk merekamnya, tapi sisi gelap manusia, kenaifan, dan keegoisannyalah yang menjadi objek utama. Karena tema utama yang tidak biasa, film ini memorable banget buat saya.

You don’t need eyes to see. Kebenaran memang bukan konsumsinya panca indera, kan? Sepertinya hal itulah yang ingin film ini bagikan kepada penontonnya. Kita nggak bakal mendengar background music apapun, selain ketika bagian menyanyinya, selama 2 jam 14 menit kedepan. Rasakan emosinya lewat ekspresi dan kalimatnya, kawan !

Kepolosan yang ditawarkan film ini juga menjadi hal yang menarik. Kamera yang merekam dengan pergerakan yang cukup kasar dan tidak ‘mengeksploitasi’ sudut pandang dan keindahan alam sekitar membuat kita fokus dengan ceritanya. Nggak ada special effect berlebihan. Nggak ada pemandangan alam sekitar yang indah. Nggak ada efek suara yang ‘mengatrol’ emosi.Tapi tanpa semua itu ternyata film ini bisa tampil dengan memukau. Bravo banget !

Bukan film yang bisa diterima semua orang, sepertinya. Temanya yang tidak biasa untuk sebuah drama musikal dan temponya yang lambat bukanlah selera semua orang. Tapi cobalah menikmati film ini dan rasakan hal yang berbeda dalam sebuah drama.

“They say it’s the last song
They don’t know us, you see
It’s only the last song
If we let it be.”

Dimas Dwi Adiguna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Walopun blog dimenonton.blogspot.com ini sifatnya tidak serius dan bebas, tapi tetap jangan melakukan hal-hal yang merugikan pihak lain.

Jangan melakukan spam, iklan, hujatan terhadap individu atau objek lainnya dengan kata yang kasar (ofensif), spoiler, dan hal lainnya yang mengganggu kenyamanan. Komentar yang dipostkan disini akan dimoderasi dulu.

Happy commenting ;)