Sabtu, 23 Oktober 2010

Eat Pray Love (2010)



Kemaren malem, kru dan calon kru LFM ITB (Liga Film Mahasiswa) sepakat buat menonton bareng filmnya Julia Roberts yang baru rilis minggu-minggu ini berjudul “Eat Pray Love” (2010). Rencana awalnya sih kita berangkat sekitar jam 7 malem, tapi jadwal dimundurkan jadi jam 8.45 dan dengan sukses menggugurkan jumlah peserta menjadi sekitar belasan orang saja. Tapi who cares dengan jumlah peserta ? Kapan lagi akhirnya saya rela tertarik dengan film drama-cinta ?

Dan siapa bilang film ini sama sekali gak pantes buat ditonton ?

Sebenernya yang bikin saya sedikit kurang excited sama film ini adalah ekspektasi saya sama film ini dulu. You know, film romantic-comedy yang ceritanya tentang seorang wanita yang pengen menyembuhkan dirinya dari permasalahan cinta. Zzz. Saya bukan tipe orang yang mau dibuai dengan cerita yang manis (hei...realita jauh lebih pahit daripada cerita film, kawan !). Tapi konsep penyembuhan diri dengan 3 bidang, yaitu makan, berdoa (sebetulnya bermeditasi lebih tepatnya, tapi ya sudahlah…), dan menjalin cinta, adalah ide yang unik. Ketiga hal ini pun rela ia kejar di 3 negara di dunia, makan di Itali, bermeditasi di India, dan menjalin cinta di Bali. Sounds cool, isn’t it?

Secara visual, film arahan sutradara Ryan Murphy ini emang keren banget. Sejenis film documenter tentang travelling guide, budaya, dan alam. Setiap scenenya telah diatur dan ditilik dengan cermat. Setiap kejadian kecil dan kebudayaan masyarakat sekitar bisa direkam dengan menarik .Siapa yang bisa melupakan bagaimana orang Itali mengatakan ‘screw you’ dengan gesture tangan ? Wahaha.

Kalo dilihat dari cerita, entah kenapa saya merasa kurang sreg. Bahkan, denger-denger sih adaptasi yang dilakukan film ini terhadap novelnya terlalu dangkal. Tapi bukan itu yang bikin saya kurang “kena” sama ceritanya (karena saya juga belom pernah baca bukunya), tapi konsepnya mengenai tuhan dan kebahagiaan agak terlalu radikal buat saya pribadi. Juga soal tempo ceritanya yang terlalu lambat dan bertele-tele, nyaris membuat grafik emosi saya anjlok di tengah cerita, dan bikin inti ceritanya jadi sedikit kabur.

Terlepas dari semua hal barusan, film ini bakal membanjiri kita tentang pengetahuan kebudayaan negara-negara disana. Bagaimana orang Italia sangat mahir menikmati hidup dan mahir ‘tidak melakukan apa-apa’. Kehidupan India yang sangat mengutamakan kedamaian hati dan mencintai dengan tulus. Dan kepercayaan masyarakat Bali tentang keseimbangan dalam hidup. Quotes menarik pun banyak tersebar di seluruh film yang berdurasi 133 menit ini. Jadi, menurut saya sih, ceritanya masih boleh lah…

Visually stunning yet flat on story. Film ini seperti sepiring spaghetti Itali yang mewah dan kaya akan topping, namun sedikit hambar dan terlalu mengenyangkan. Kita harusnya udah bisa merasakan kelezatannya walaupun hanya beberapa suap saja, dan tentu saja, “butuh bumbu lagi, Ryan Murphy !”. Wahaha.

Dimas Dwi Adiguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Walopun blog dimenonton.blogspot.com ini sifatnya tidak serius dan bebas, tapi tetap jangan melakukan hal-hal yang merugikan pihak lain.

Jangan melakukan spam, iklan, hujatan terhadap individu atau objek lainnya dengan kata yang kasar (ofensif), spoiler, dan hal lainnya yang mengganggu kenyamanan. Komentar yang dipostkan disini akan dimoderasi dulu.

Happy commenting ;)